Rabu, 16 Mei 2012

PERJALANAN TASAWUF ROBI'AH AL-ADAWIYYAH


BAB I
PENDAHULUAN
Dalam kehidupan beragama ada segolongan umat Islam yang belum merasa puas dengan mendekatkan diri kepada Tuhan hanya dengan melalui ibadah shalat, puasa dan haji. Mereka menginginkan suasana yang lebih dekat lagi dengan Allah SWT. Adapun jalan mendekatkan diri kepada Tuhan adalah melalui tasawwuf. Sedang tasawuf atau sufisme adalah istilah yang dipakai untuk menggambarkan mistisme dalam Islam.
Tujuan mistisme, baik dalam Islam maupun dari luar Islam adalah memperoleh kontak langsung dengan Tuhan sehingga disadari benar bahwa seseorang berada di hadirat Allah SWT. Intisari dari mistisme dan termasuk didalamnya tasawuf adalah kesadaran akan adanya komunikasi dan dialog antara roh manusia dengan Tuhan. Hal tersebut bisa diwujudkan dengan mengasingkan diri dan melakukan kontemplasi. Kesadaran itulah yang selanjutnya mengambil bentuk rasa dekat sekali dengan Tujan dalam arti bersatu dengan Tuhan yang dalam istilah Arabnya disebut dengan Ittihad dan istilah Inggris adalah mystical union.
Mistisme termasuk didalamnya tasawuf erat hubungannya dengan keadaan menjauhi hidup duniawi dan kesenangan material. Dalam istilah tasawuf disebut zuhud. Mempunyai sifat zuhud merupakan langkah pertama dalam usaha mendekati Tuhan. Sedang orang yang mempunyai sifat ini disebut zahid. Setelah ini barulah orang meningkat menjadi sufi (mystic). Dalam perkembangan zuhud terdapat dua golongan zahid. Satu golongan zahid meninggalkan kehidupan dunia serta kesenangan material dan memusatkan perhatian pada ibadah karena didorong oleh perasaan takut akan masuk neraka di akhirat. Tuhan dipandang sebagai suatu zat yang ditakutidan perasaan takutlah yang menjadi pendorong mereka. Satu golongan lain didorong bukan oleh perasaan takut tetapi sebaliknya adalah perasaan cinta kepada Tuhan. Tuhan bagi mereka bukanlah suatu zat yang harus dijauhi dan ditakuti tetapi suatu zat yang harus dicintai dan didekati. Maka mereka meninggalkan kehidupan duniawi dan banyak beribadah karena ingin mendekatkan diri kepada Tuhan.



Diantara kalangan sufi yang termasuk dalam kategori ini adalah Rabi’ah Al-Adawiyyah dengan konsep pemikiran tasawufnya yaitu mahabbah ilahiyyah (kecintaan kepada Tuhan). Seorang wanita sufi dari Bashrah yang terkenal dengan ibadah dan kedekatannya dengan Allah SWT dengan memasukkan dalam dunia tasawuf konsep pemikiran kecintaan terhadap tuhan محبة الآهية  sebagai ganti dari rasa takut dan kekhawatiran. Merupakan tingkat kelanjutan dari tingkat kehidupan zuhud oleh Hasan Bashri, yaitu takut dan pengharapan yang dinaikkan oleh Rabi’ah menjadi kehidupan zuhud yang didasari karena cinta suci murni kepada Allah SWT.







BAB II
PEMBAHASAN
A.  Riwayat hidup Rabi’ah al-Adawiyyah
Nama lengkapnya adalah Ummul Khair Rabi’ah binti Ismail al-Adawiyyah al-Qisiyyah lahir di Bashrah diperkirakan tahun 95 H/717 M. Keluarganya dari suku Atiq dan ayahnya bernama Ismail. Merupakan anak yang keempat, maka itulah dia disebut dengan Rabi’ah. Berasal dari keluarga miskin, bahkan sewaktu ingin dilahirkan tidak ada lampu yang menerangi rumahnya dan setetes minyak untuk menoles pusar putrinya dan tidak terdapat sehelai kain pun untuk digunakan menyelimuti bayi yang baru lahir.
Maka disuruhlah ayahnya oleh ibunya untuk meminta minyak untuk bahan bakar lampu ke tetangganya. Tetapi ayahnya Rabi’ah hanya menyentuh pintu rumah tetangganya karena telah bersumpah untuk tidak meminta sesuatu apapun sebagai belas kasihan. Maka pulanglah dia ke rumah dan menyampaikan kepada isterinya bahwa tetangganya tidak membuka pintu rumahnya. Melihat kondisi isterinya yang memprihatinkan, ayah Rabi’ah terpekur dan termenung sampai kemudian tertidur dan bermimpi bertemu dengan Rasulullah SAW seraya berkata : “Janganlah kau bersedih hati, karena putrimu yang baru lahir itu kelak akan menjadi orang yang terhormat dan mulia dan tujuh puluh ribu dari umatku membutuhkan syafa’atnya.” Dalam mimpi itu nabi juga memberi perintah agar menemui Isa Zaidan, seorang Amir dengan menyampaikan sepucuk surat yang berisi pesan Rasulullah SAW. Pada pagi harinya, ayah Rabi’ah menulis sepucuk surat seperti yang dipesankan Rasulullah SAW dan pergi menemui Amir. Sebagai penghormatan, maka Amir itu sendiri yang menyerahkan uang itu.
Pada masa hidupnya telah ditinggal oleh kedua orang tuanya ketika masih dalam keadaan remaja dan kelihatannya Rabi’ah dijual sebagai budak dan hidup sebagai hamba sahaya. Rabi’ah sebagai budak mempunyai keahlian dalam bidang musik dan pandai membawakan syair-syair untuk menghibur. Hidupnya senantiasa dalam penderitaan dan kesengsaraan serta dijadikan budak perasan oleh majikannya dan selalu ditindas. Namun dalam perjalanan hidupnya, Rabi’ah akhirnya dimerdekakan. Menurut cerita orang yang memilikinya dan Rabi’ah pada waktu masih menjadi budak dan belum dimerdekakan, orang yang memilikinya melihat cahaya diatas kepala Rabi’ah dan sewaktu beribadah cahaya itu menerangi seluruh ruangan rumahnya. Setelah dibebaskan, memohon izin kepada majikannya dan pergi menyendiri di padang pasir serta memilih hidup zuhud. Menurut riwayatnya bahwa suatu ketika ada orang yang menyebut-nyebut siksa neraka dihadapan Rabi’ah. Ketika mendengar ucapan itu, Rabi’ah jatuh pingsan. Sedang pingsan yang dimaksud dalam hal ini adalah pingsan istighfar, memohon ampunan dan setelah siuman dari pingsannya, ia berkata: Saya mesti minta ampun lagi dengan cara mohon ampun yang pertama. Rabi’ah al-Adawiyyah dikenal sebagai wanita sufi dalam lembaran sejarah sufi-sufi lainnya yang hidup pada periode tabi’in yang sezaman dengan Sufyan Tsauri, Hasan Bashri. Masa hidupnya dihabiskan untuk mengabdi kepada Tuhan Bahkan sajadahnya penuh dengan linangan air mata yang membasahi tempat sembahyangnya. Rabi’ah al-Adawiyyah merupakan wanita sufi yang tidak pernah lengah dalam melakukan aktifitas ibadah.
Dalam riwayatnya, ketika melaksanakan shalat di gubuknya ada seorang pencuri masuk ke tempatnya dan mengambil cadarnya. Ketika pencuri tersebut ingin keluar dari tempatnya, dia tidak menemui pintu keluar. Maka dikembalikanlah cadar tersebut dan nampaklah kembali pintu keluar. Setelah nampak pintu keluar maka diambillah kembali cadar tersebut tetapi pencuri tersebut tidak menemukan pintu keluar kembali. Maka dikembalikanlah cadar Rabi’ah dan hal tersebut dilakukan hingga tujuh kali. Sehingga pencuri itu minta maaf dan menjadi orang yang sering menghadiri pengajiannya Rabi’ah.
Rabi’ah betul-betul hidup zuhud dan dekat dengan Tuhan. Banyak beribadah, bertaubat, menjauhi hidup duniawi dan menolak segala bantuan materi yang diberikan orang kepadanya. Hal ini pernah terjadi ketika Rabi’ah menolak hadiah dari orang kaya dermawan yang bermaksud ingin menyantuninya karena baginya, Allah SWT jauh memiliki segalanya dan tidak ingin terikat dengan hal-hal yang bersifat material. Bahkan ada do’a-do’a dari beliau yang isinya tidak pernah meminta hal-hal yang bersifat materi dari Tuhan. Juga hal ini dilihat dari ketika teman-temannya yang ingin memberi rumah kepadanya, ia mengatakan :”Aku takut kalau rumah ini akan mengikat hatiku sehingga aku terganggu dalam amalku untuk akhirat”. Kepada seorang pengunjung ia memberi nasehat: “Memandang dunia sebagai sesuatu yang hina dan tidak berharga, adalah lebih baik bagimu”. Bahkan segala lamaran cinta ditolaknya, karena kesenangan dunia itu akan memalingkan perhatian daripada akhirat dan Rabi’ah tidak pernah menikah bukan karena semata-mata zuhud terhadap pernikahan itu sendiri tetapi karena ia zuhud terhadap kehidupan itu sendiri. Seumur hidupnya tidak pernah menikah dan sebagai wanita zahidah selalu menampik setiap lamaran beberapa pria dengan mengatakan:
“Akad nikah adalah hak Pemilik Alam Semesta. Sedangkan bagi diriku hal itu tidak ada karena aku telah berhenti maujud dan telah lepas diri ! Aku maujud dalam Tuhan dan diriku sepenuhnya milik-Nya. Aku hidup dalam naungan firman-Nya. Akad nikah mesti diminta dari-Nya dan bukan dariku.
Memasuki usia kurang lebih dari 90 tahun, bukan semata-mata usia yang panjang tapi merupakan waktu yang penuh berkah hidup yang menyebar disekelilingnya atau kehidupan yang menyebarkan semerbak ke daerah sekitarnya. Rabi’ah adalah wanita sufi dari Bashrah yang terkenal dengan ibadah dan kedekatannya dengan Allah SWT. Memasukkan konsep kecintaan terhadap tuhan محبة الآهية  dalam dunia tasawwuf sebagai ganti dari rasa takut dan kekhawatiran. Menurut riwayat, beliau wafat tahun 185 H/801 M dan orang-orang mengatakan dia dikuburkan dekat kota Yerussalem. Terdapat silang pendapat di kalangan ahli sejarah tentang wafatnya Rabi’ah, baik itu mengenai tahun maupun tempat penguburannya. Mayoritas meyakini tahun 185 H sebagai tahun wafatnya Rabi’ah sedang tempat penguburannya mayoritas ahli sejarah mengatakan bahwa kota kelahirannya sebagai tempat menguburkannya.
Sebagian Syair-syair Cinta Rabi’ah al-Adawiyah
-       Aku mencintai-Mu dengan dua cinta
Cinta karena diriku dan cinta karena diri-Mu
Cinta karena diriku, adalah keadaan senantiasa mengingat-Mu
Cinta karena diri-Mu, adalah keadaan-Mu mengungkapkan tabir
Hingga Engkau ku lihat
Baik untuk ini maupun untuk itu
Pujian bukanlah bagiku
Bagi-Mu pujian untuk semua itu
-       Aku mengabdi kepada Tuhan
bukan karena takut neraka
Bukan pula karena mengharap masuk surga
Tetapi aku mengabdi,
Karena cintaku pada-Nya
Ya Allah, jika aku menyembah-Mu
karena takut neraka, bakarlah aku di dalamnya
Dan jika aku menyembah-Mu
karena mengharap surga, campakkanlah aku darinya
Tetapi, jika aku menyembah-Mu demi Engkau semata,
Janganlah Engkau enggan memperlihatkan keindahan wajah-Mu
yang abadi padaku
-       Tuhanku
Tenggelamkan diriku ke dalam lautan
Keikhlasan mencintai-Mu
Hingga tak ada sesuatu yang menyibukkanku
Selain berdzikir kepada-Mu
B.  Konsep Tasawuf Dan Kehidupan Zuhud Yang Ditempuh
Rabi’ah Al Adawiyah tergolong dalam kelompok sufi periode awal. Ia memperkaya literatur Islam dengan kisah-kisah pengalaman mistiknya dalam sajak-sajak berkualitas tinggi. Rabi’ah dipandang sebagai pelopor tasawuf mahabbah, yaitu penyerahan diri total kepada “kekasih” (Allah) dan ia pun dikenang sebagai ibu para sufi besar (The Mother of The Grand Master). Hakekat tasawufnya adalah habbul-ilāh (mencintai Allah SWT). Ibadah yang ia lakukan bukan terdorong oleh rasa takut akan siksa neraka atau rasa penuh harap akan pahala atau surga, melainkan semata-mata terdorong oleh rasa rindu pada Tuhan untuk menyelami keindahan–Nya yang azali. Mahabbah Rabi’ah merupakan versi baru dalam masalah ubudiyah kedekatan pada Tuhan.
Rabi’ah adalah seorang zahidah sejati. Memeluk erat kemiskinan demi cintanya pada Allah. Lebih memilih hidup dalam kesederhanaan. Defenisi cinta menurut Rabiah adalah cinta seorang hamba kepada Allah Tuhannya. Ia mengajarkan bahwa yang pertama, cinta itu harus menutup yang lain, selain Sang Kekasih atau Yang Dicinta, yaitu bahwa seorang sufi harus memalingkan punggungnya dari masalah dunia serta segala daya tariknya. Sedangkan yang kedua, ia mengajarkan bahwa cinta tersebut yang langsung ditujukan kepada Allah dimana mengesampingkan yang lainnya, harus tidak ada pamrih sama sekali. Ia harus tidak mengharapkan balasan apa-apa. Dengan Cinta yang demikian itu, setelah melewati tahap-tahap sebelumnya, seorang sufi mampu meraih ma’rifat sufistik dari “hati yang telah dipenuhi oleh rahmat-Nya”. Pengetahuan itu datang langsung sebagai pemberian dari Allah dan dari ma’rifat inilah akan mendahului perenungan terhadap Esensi Allah tanpa hijab. Rabiah merupakan orang pertama yang membawa ajaran cinta sebagai sumber keberagamaan dalam sejarah tradisi sufi Islam.
Cinta Rabi’ah merupakan cinta yang tidak mengharap balasan. Justru, yang dia tempuh adalah perjalan mencapai ketulusan. Sesuatu yang diangap sebagai ladang subur bagi pemuas rasa cintanya yang luas, dan sering tak terkendali tersebut. Lewat sebuah doa yang mirip syair, ia berujar: Wahai Tuhanku, jika aku menyembah-Mu karena takut neraka, bakarlah aku di neraka. Jika aku menyembah-Mu karena surga, jangan masukkan ke dalamnya. Tapi, jika aku menyembah-Mu demi Engkau semata, jangan sembunyikan dariku keindahan abadi-Mu. Kecintaan Rabi’ah kepada Allah mengalahkan hidup dan kecintaanya kepada dunia dan isinya, hari-harinya habis untuk berkomunikasi dengan Allah betapa dia merasa dirinya adalah milik Allah hingga ada beberapa pemuda ingin melamarnya ditolaknya dengan halus.
Di antara mereka yang mencoba membujuknya untuk menikah adalah Abdul Wajid bin Zaid, yang termasyur dalam kezuhudan dan kesucian hidupnya, seorang ahli ilmu agama, seorang khatib, dan penganjur hidup menyepi bagi siapa saja yang mencari jalan kepada Tuhan. Rabi’ah menolak lamarannya dan berkata : “Hai orang yang sangat bernafsu, carilah wanita lain yang juga sangat bernafsu sebagaimana dirimu. Apakah kau melihat ada tanda birahi dalam diriku?” Muhammad bin Sulaiman al-Hasyimi, Amir Abbasiyah untuk Basrah pada saat itu, juga pernah melamar Rabi’ah. Setelah mendiskusikannya dengan para pejabat di Basrah, dia menawarkan mas kawin seratus ribu dinar dan menulis surat kepada Rabi’ah bahwa dia memiliki gaji sepuluh ribu dinar tiap bulan dan semua itu akan dilimpahkan kepada Rabi’ah. Tetapi Rabi’ah membalas surat itu dengan: “Hal itu tidaklah menyenangkanku, kamu akan menjadi budakku dan semua yang kau miliki akan menjadi milikku, atau kamu akan memalingkan aku dari Tuhan dalam sebuah pertemuan abadi.”
Kisah lain menceritakan Hasan Basri yang dalam sebuah majelis sufi, mendesak Rabi’ah agar memilih seorang di antara para sufi sebagai suami. Rabi’ah memberikan jawaban : “Ya, baiklah. Siapa yang pandai di antara kalian, yang memungkinkan aku akan menikah dengannya?” Para sufi sepakat menjawab : “Hasan Basri.” Lalu Rabi’ah mengajukan empat pertanyaan : ”pertama, apakah hakim dunia akan bertanya saat aku mati? Adakah aku saat meninggal dunia dalam keadaan muslim ataukah kafir? Kedua, kapan aku masuk dalam kubur, dan jika Munkar-Nakir menanyaiku, mampukah aku menjawab mereka? Ketiga, kapan manusia dikumpulkan pada hari kebangkitan dan buku-buku dibagikan? Berapa yang menerima buku dengan tangan kanan dan berapa dengan tangan kiri? Keempat, kapan umat manusia dikumpulkan pada hari pengadilan, berapa yang masuk surga dan berapa yang ke neraka, di antara kedua kelompok itu, kelompok manakah aku?” Hasan Basri tidak bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut karena hanya Allah yang mengetahuinya. Kemudian Rai’ah berkata : “Karena aku mempunyai empat pertanyaan yang merupakan keprihatinan pribadiku, bagaiman aku akan menemukan seorang suami yang tidak dapat menjadi tempat bersandar?”
Beliau selalu berbicara dengan Allah seolah-olah dekat sekali dengan Allah dengan bahasa-bahasa yang indah dan do’a-do’a yang sangat menusuk hati dan kata pujian seperti layaknya kerinduan seseorang kepada kekasih hatinya. Sebagaimana do’a Rabi’ah kepada Allah dengan kecintaan yang sangat mendalam: Wahai Tuhanku!, tenggelamkanlah aku dalam mencintai-Mu, sehingga tidak membimbangkan aku dari pada-Mu. Ya Tuhan, bintang di Langit telah gemerlapan, mata telah bertiduran, pintu-pintu istana telah dikunci dan tiap pencinta telah menyendiri dengan yang dicintainya, dan inilah aku berada di hadirat-Mu. Tuhanku, malam telah berlalu dan siang segera datang, aku gelisah apakah amalanku Engkau terima hingga aku merasa bahagia, apakah engkau tolak sehingga aku merasa sedih. Demi Kemahakuasaan-Mu, inilah yang aku lakukan sehingga engkau beri hayat (hidup). Sekiranya engkau usir aku dari hadapan-Mu aku tidak akan pergi, karena cinta pada-Mu telah memenuhi hatiku.
Pada suatu ketika, Rabi’ah al-Adawiyah pernah ditanya oleh al- Tsauri, apakah hakekat iman engkau?. Rabiah al- Adawiyah menjawab, aku menyembah-Nya bukan karena takut siksaan neraka-Nya, dan bukan pula karena ingin masuk surga-Nya, karena dengan demikian jadilah aku bagaikan menerima upah yang jahat, tetapi aku menyembah-Nya semata- mata cinta dan rindu kepada-Nya. Lebih lanjut, hal ini tergambar dalam syair Rabi’ah al-Adawiyah yang berbunyi: “Tuhanku, jika kupuji engkau karena takut neraka-Mu, bakarlah aku di dalamnya. Dan jika ku puji engkau karena mengharap surga-Mu jauhkanlah aku dari padanya. Tetapi bila ku puji Engkau karena semata- mata karena Engkau, maka jangan lah sembunyikan kecantikan-Mu yang kekal itu dari ku”.
Ada orang bertanya kepada Rabi’ah, apa pendapatmu tentang surga ?. dia menjawab: “yang penting tangga dulu baru rumah (surga)”.jawaban yang singkat dari Rabi’ah mengandung makna bahwa yang terpenting adalah beramal terlebih dahulu baru mengharap balasan. Disana juga tersirat bahwa beramal adalah urusan manusia sedangkan balasan serahkan saja kepada kehendak Allah SWT terhadap amalan manusia tersebut.
Dengan demikian jelaslah bahwa konsep al-hubb berdasarkan pengalaman Rabi’ah al-Adawiyah dalam ritual tasawufnya adalah dengan menjadikan Allah sebagai segala- galanya, tidak ada yang melebihi dari-Nya sesuatu pun makhluk yang telah Ia ciptakan. Semua perhatian dan pikiran selalu tercurah kepada-Nya sebagai bukti cinta- kasih hanya semata-mata untuk-Nya. Bahkan pengabdian hidup yang diwujudkan dalam bentuk ibadah bukanlah untuk mengharapkan balasan apa-apa dari-Nya, baik berupa surga maupun takut karena siksa neraka. Namun pengabdian itu semata-mata karena Allah kekasih yang paling dicintainya. Semuanya bertujuan untuk mendekatkan diri kepada-Nya, bahkan hingga mencapai persatuan dengan-Nya.
Dalam fase selanjutnya, hidup Rabia’ah hanya diisi dengan dzikir, tilawah, dan wirid. Duduknya hanya untuk menerima kedatangan muridnya yang terdiri dari kaum sufi yang memohon restu dan fatwanya. Rabi’ah berusaha mengajarkan generasi Muslim sesudahnya sehingga mereka mampu mengangkat derajat mereka dari nafsu rendah. Sebab kondisi masyarakat Basrah pada waktu itu terlena dalam kehidupan duniawi, berpaling dari Allah Swt dan menjauhi orang-orang yang mencintai Allah serta segala sesuatu yang dapat mendekatkan diri pada Allah Swt. Mengajarkan pada manusia arti cinta ilahi dengan mendidik manusia dengan akhlaq yang mulia sehingga mendapatkan kedudukan tinggi. Hidup Rabi’ah penuh untuk beribadah kepada Tuhan hingga akhir hayatnya.
Rabia’ah al-Adawiyah, telah memilih jalan hidup dengan cara zuhud dan beribadah kepada Allah. Selama hidup ia tidak pernah menikah, walaupun ia seorang wanita yang cantik dan menarik. Juga seorang yang cerdas dan luas ilmunya. Rabi’ah sadar kalau perkawinan adalah perintah agama. Pada suatu ketika seorang sahabat bertanya kepada Rabi’ah, mengapa Anda tidak mau menikah? Rabi’ah menjawab; ada tiga keprihatinanku. Bila ada orang yang bisa menghilangkan keprihatinanku tersebut, maka aku akan menikah dengannya. Kemudian ia mengemukakan ketiga masalah tersebut; pertama, apa bila aku meninggal dunia, maka aku akan menghadap Tuhanku, apakah dalam keadaan beriman atau suci ?, kedua, apakah aku akan menerima kitab amalanku dengan tangan kanan ku ?. ketiga, bila datang hari kiamat, dan orang- orang dari kelompok kanan telah masuk surga dan kelompok kiri masuk neraka. Maka dalam kelompok manakah aku ?. orang itu menjawab: “aku tidak tahu apa- apa tentang pertanyaanmu itu, masalah itu hanya diketahui oleh Allah SWT. Rabi’ah berkata: jika demikian halnya maka aku akan tetap dalam keadaan cemas dan prihatin. Bagaimana aku akan mampu berumah tangga. Alasan Rabi,ah tersebut menggambarkan bahwa memang tidak ada niat baginya untuk membagi cinta kepada Allah dengan makhluk ciptaan-Nya.
C.  Ekspresi Beragama Dalam Kehidupan Sufi Rabi’ah al-Adawiyah
Ekspresi beragama ini dibagi menjadi:
1.        Ekspresi Verbal yang dilakukan Rabi’ah al-Adawiyah
Sebagaimana disebut di atas, ekspresi verbal yang dilakukan Rabi’ah antara lain berupa perkataan yang berwujud doa-doa, syair-syair, nasehat, maupun jawaban dari pertanyaan.
Mengapa Rabi’ah menciptakan begitu banyak doa yang berupa syair-syair? Hal ini boleh jadi karena perasaan cinta dan rasa rindu pada “Kekasihnya”. Secara alamiah orang yang perasaannya dipenuhi oleh perasaan cinta dan rindu maka akan menciptakan puisi-puisi sebagai ungkapan perasaannya tersebut pada kekasihnya. Begitu juga yang terjadi pada Rabi’ah.
2.        Ekspresi Motoris yang dilakukan Rabi’ah al-Adawiyah
Ekspresi keberagamaan Rabi’ah dalam bentuk motoris teraktualisasi dalam bentuk-bentuk ibadah antara lain seperti shalat, puasa, haji, serta aktivitas-aktivitas lainnya.
Rabi’ah selalu melakukan shalat malam hingga fajar menjelang, dan ketika ia sakit, ia ridak bisa melakukan shalat malam dan akhirnya menggantinya dengan membaca Al-Quran di siang hari. Sementara tetesan air mata selalu mengiringi doa-doa yang dilantunkannya. Ia menangis bukan karena kemiskinannya atau karena ia tidak dihormati, melainkan ia menangis karena rindu akan “Kekasihnya” Allah SWT.
Ekspresi lain yang dilakukannya yaitu, menggali kuburnya sendiri di rumah. Dan diceritakan, ia biasa berdiri di samping lubang kubur tersebut, pagi dan sore hari sambil berkata “besok engkau pasti berada di sini” kemudian ia banyak melakukan ibadah. Selama 40 tahun ia memelihara kebiasannya ini hingga wafatnya.
Perilaku demikian menunjukkan bahwa Rabi’ah ingin segera bertemu dengan ‘kekasihnya’, dan itu akan dijumpainya pada saat rohnya terlepas dari jasadnya. Di samping itu, perilaku demikian juga menyadarkan dirinya bahwa kehidupan di dunia harus diisi dengan aktivitas sebagai bekal kehidupan di akhirat kelak.







BAB III
PENUTUP
Rabi’ah Al Adawiyah tergolong dalam kelompok sufi periode awal. Ia memperkaya literatur Islam dengan kisah-kisah pengalaman mistiknya dalam sajak-sajak berkualitas tinggi. Rabi’ah dipandang sebagai pelopor tasawuf mahabbah, yaitu penyerahan diri total kepada “kekasih” (Allah) dan ia pun dikenang sebagai ibu para sufi besar (The Mother of The Grand Master). Hakekat tasawufnya adalah habbul-ilāh (mencintai Allah SWT). Ibadah yang ia lakukan bukan terdorong oleh rasa takut akan siksa neraka atau rasa penuh harap akan pahala atau surga, melainkan semata-mata terdorong oleh rasa rindu pada Tuhan untuk menyelami keindahan–Nya yang azali. Mahabbah Rabi’ah merupakan versi baru dalam masalah ubudiyah kedekatan pada Tuhan.
Cinta Rabi’ah merupakan cinta yang tidak mengharap balasan. Justru, yang dia tempuh adalah perjalan mencapai ketulusan. Sesuatu yang diangap sebagai ladang subur bagi pemuas rasa cintanya yang luas, dan sering tak terkendali tersebut. Lewat sebuah doa yang mirip syair, ia berujar: Wahai Tuhanku, jika aku menyembah-Mu karena takut neraka, bakarlah aku di neraka. Jika aku menyembah-Mu karena surga, jangan masukkan ke dalamnya. Tapi, jika aku menyembah-Mu demi Engkau semata, jangan sembunyikan dariku keindahan abadi-Mu. Kecintaan Rabi’ah kepada Allah mengalahkan hidup dan kecintaanya kepada dunia dan isinya, hari-harinya habis untuk berkomunikasi dengan Allah betapa dia merasa dirinya adalah milik Allah hingga ada beberapa pemuda ingin melamarnya ditolaknya dengan halus.
-            Ekspresi Verbal yang dilakukan Rabi’ah al-Adawiyah
Sebagaimana disebut di atas, ekspresi verbal yang dilakukan Rabi’ah antara lain berupa perkataan yang berwujud doa-doa, syair-syair, nasehat, maupun jawaban dari pertanyaan.
-            Ekspresi Motoris yang dilakukan Rabi’ah al-Adawiyah
Ekspresi keberagamaan Rabi’ah dalam bentuk motoris teraktualisasi dalam bentuk-bentuk ibadah antara lain seperti shalat, puasa, haji, serta aktivitas-aktivitas lainnya.



DAFTAR PUSTAKA
El Sakkakini, Widad. Pergulatan Hidup Perempuan Suci Rabi’ah Al-Adawiyah. Risalah Gusti,Surabaya: 1999
Asfari MS. Dan Otto Sukatno CR., 1997. Mahabbah Cinta Rabi’ah al-Adawiyah. Cet. I. Jogjakarta: Bentang Budaya.
https://salwintt.wordpress.com/artikel/kisah-islami/rabiah-adawiyyah/

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terbelenggu Kata

                                                        ...