BAB I
PENDAHULUAN
Dalam kehidupan beragama ada segolongan umat Islam yang belum
merasa puas dengan mendekatkan diri kepada Tuhan hanya dengan melalui ibadah
shalat, puasa dan haji. Mereka menginginkan suasana yang lebih dekat lagi
dengan Allah SWT. Adapun jalan mendekatkan diri kepada Tuhan adalah melalui
tasawwuf. Sedang tasawuf atau sufisme adalah istilah yang dipakai untuk
menggambarkan mistisme dalam Islam.
Tujuan mistisme, baik dalam Islam maupun dari luar Islam adalah
memperoleh kontak langsung dengan Tuhan sehingga disadari benar bahwa seseorang
berada di hadirat Allah SWT. Intisari dari mistisme dan termasuk didalamnya
tasawuf adalah kesadaran akan adanya komunikasi dan dialog antara roh manusia
dengan Tuhan. Hal tersebut bisa diwujudkan dengan mengasingkan diri dan
melakukan kontemplasi. Kesadaran itulah yang selanjutnya mengambil bentuk rasa
dekat sekali dengan Tujan dalam arti bersatu dengan Tuhan yang dalam istilah
Arabnya disebut dengan Ittihad dan istilah Inggris adalah mystical union.
Mistisme termasuk didalamnya tasawuf erat hubungannya dengan
keadaan menjauhi hidup duniawi dan kesenangan material. Dalam istilah tasawuf
disebut zuhud. Mempunyai sifat zuhud merupakan langkah pertama dalam usaha
mendekati Tuhan. Sedang orang yang mempunyai sifat ini disebut zahid. Setelah
ini barulah orang meningkat menjadi sufi (mystic). Dalam perkembangan zuhud
terdapat dua golongan zahid. Satu golongan zahid meninggalkan kehidupan dunia
serta kesenangan material dan memusatkan perhatian pada ibadah karena didorong
oleh perasaan takut akan masuk neraka di akhirat. Tuhan dipandang sebagai suatu
zat yang ditakutidan perasaan takutlah yang menjadi pendorong mereka. Satu
golongan lain didorong bukan oleh perasaan takut tetapi sebaliknya adalah
perasaan cinta kepada Tuhan. Tuhan bagi mereka bukanlah suatu zat yang harus
dijauhi dan ditakuti tetapi suatu zat yang harus dicintai dan didekati. Maka
mereka meninggalkan kehidupan duniawi dan banyak beribadah karena ingin
mendekatkan diri kepada Tuhan.
Diantara kalangan sufi yang termasuk dalam kategori ini adalah
Rabi’ah Al-Adawiyyah dengan konsep pemikiran tasawufnya yaitu mahabbah
ilahiyyah (kecintaan kepada Tuhan). Seorang wanita sufi dari Bashrah yang
terkenal dengan ibadah dan kedekatannya dengan Allah SWT dengan memasukkan
dalam dunia tasawuf konsep pemikiran kecintaan terhadap tuhan محبة الآهية sebagai ganti dari rasa takut dan kekhawatiran. Merupakan tingkat
kelanjutan dari tingkat kehidupan zuhud oleh Hasan Bashri, yaitu takut dan
pengharapan yang dinaikkan oleh Rabi’ah menjadi kehidupan zuhud yang didasari
karena cinta suci murni kepada Allah SWT.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Riwayat hidup Rabi’ah al-Adawiyyah
Nama lengkapnya adalah Ummul Khair Rabi’ah binti Ismail al-Adawiyyah
al-Qisiyyah lahir di Bashrah diperkirakan tahun 95 H/717 M. Keluarganya dari
suku Atiq dan ayahnya bernama Ismail. Merupakan anak yang keempat, maka itulah
dia disebut dengan Rabi’ah. Berasal dari keluarga miskin, bahkan sewaktu ingin
dilahirkan tidak ada lampu yang menerangi rumahnya dan setetes minyak untuk
menoles pusar putrinya dan tidak terdapat sehelai kain pun untuk digunakan
menyelimuti bayi yang baru lahir.
Maka disuruhlah ayahnya oleh ibunya untuk meminta minyak untuk bahan
bakar lampu ke tetangganya. Tetapi ayahnya Rabi’ah hanya menyentuh pintu rumah
tetangganya karena telah bersumpah untuk tidak meminta sesuatu apapun sebagai
belas kasihan. Maka pulanglah dia ke rumah dan menyampaikan kepada isterinya
bahwa tetangganya tidak membuka pintu rumahnya. Melihat kondisi isterinya yang
memprihatinkan, ayah Rabi’ah terpekur dan termenung sampai kemudian tertidur
dan bermimpi bertemu dengan Rasulullah SAW seraya berkata : “Janganlah kau
bersedih hati, karena putrimu yang baru lahir itu kelak akan menjadi orang yang
terhormat dan mulia dan tujuh puluh ribu dari umatku membutuhkan syafa’atnya.”
Dalam mimpi itu nabi juga memberi perintah agar menemui Isa Zaidan, seorang
Amir dengan menyampaikan sepucuk surat yang berisi pesan Rasulullah SAW. Pada
pagi harinya, ayah Rabi’ah menulis sepucuk surat seperti yang dipesankan
Rasulullah SAW dan pergi menemui Amir. Sebagai penghormatan, maka Amir itu
sendiri yang menyerahkan uang itu.
Pada masa hidupnya telah ditinggal oleh kedua orang tuanya ketika
masih dalam keadaan remaja dan kelihatannya Rabi’ah dijual sebagai budak dan
hidup sebagai hamba sahaya. Rabi’ah sebagai budak mempunyai keahlian dalam
bidang musik dan pandai membawakan syair-syair untuk menghibur. Hidupnya
senantiasa dalam penderitaan dan kesengsaraan serta dijadikan budak perasan oleh
majikannya dan selalu ditindas. Namun dalam perjalanan hidupnya, Rabi’ah
akhirnya dimerdekakan. Menurut cerita orang yang memilikinya dan Rabi’ah pada
waktu masih menjadi budak dan belum dimerdekakan, orang yang memilikinya
melihat cahaya diatas kepala Rabi’ah dan sewaktu beribadah cahaya itu menerangi
seluruh ruangan rumahnya. Setelah dibebaskan, memohon izin kepada majikannya
dan pergi menyendiri di padang pasir serta memilih hidup zuhud. Menurut
riwayatnya bahwa suatu ketika ada orang yang menyebut-nyebut siksa neraka
dihadapan Rabi’ah. Ketika mendengar ucapan itu, Rabi’ah jatuh pingsan. Sedang
pingsan yang dimaksud dalam hal ini adalah pingsan istighfar, memohon ampunan
dan setelah siuman dari pingsannya, ia berkata: Saya mesti minta ampun lagi
dengan cara mohon ampun yang pertama. Rabi’ah al-Adawiyyah dikenal sebagai
wanita sufi dalam lembaran sejarah sufi-sufi lainnya yang hidup pada periode
tabi’in yang sezaman dengan Sufyan Tsauri, Hasan Bashri. Masa hidupnya
dihabiskan untuk mengabdi kepada Tuhan Bahkan sajadahnya penuh dengan linangan
air mata yang membasahi tempat sembahyangnya. Rabi’ah al-Adawiyyah merupakan
wanita sufi yang tidak pernah lengah dalam melakukan aktifitas ibadah.
Dalam riwayatnya, ketika melaksanakan shalat di gubuknya ada seorang
pencuri masuk ke tempatnya dan mengambil cadarnya. Ketika pencuri tersebut
ingin keluar dari tempatnya, dia tidak menemui pintu keluar. Maka
dikembalikanlah cadar tersebut dan nampaklah kembali pintu keluar. Setelah
nampak pintu keluar maka diambillah kembali cadar tersebut tetapi pencuri
tersebut tidak menemukan pintu keluar kembali. Maka dikembalikanlah cadar
Rabi’ah dan hal tersebut dilakukan hingga tujuh kali. Sehingga pencuri itu
minta maaf dan menjadi orang yang sering menghadiri pengajiannya Rabi’ah.
Rabi’ah betul-betul hidup zuhud dan dekat dengan Tuhan. Banyak
beribadah, bertaubat, menjauhi hidup duniawi dan menolak segala bantuan materi
yang diberikan orang kepadanya. Hal ini pernah terjadi ketika Rabi’ah menolak
hadiah dari orang kaya dermawan yang bermaksud ingin menyantuninya karena
baginya, Allah SWT jauh memiliki segalanya dan tidak ingin terikat dengan
hal-hal yang bersifat material. Bahkan ada do’a-do’a dari beliau yang isinya
tidak pernah meminta hal-hal yang bersifat materi dari Tuhan. Juga hal ini
dilihat dari ketika teman-temannya yang ingin memberi rumah kepadanya, ia
mengatakan :”Aku takut kalau rumah ini akan mengikat hatiku sehingga aku
terganggu dalam amalku untuk akhirat”. Kepada seorang pengunjung ia memberi
nasehat: “Memandang dunia sebagai sesuatu yang hina dan tidak berharga, adalah
lebih baik bagimu”. Bahkan segala lamaran cinta ditolaknya, karena kesenangan
dunia itu akan memalingkan perhatian daripada akhirat dan Rabi’ah tidak pernah
menikah bukan karena semata-mata zuhud terhadap pernikahan itu sendiri tetapi
karena ia zuhud terhadap kehidupan itu sendiri. Seumur hidupnya tidak pernah
menikah dan sebagai wanita zahidah selalu menampik setiap lamaran beberapa pria
dengan mengatakan:
“Akad nikah adalah hak Pemilik Alam Semesta. Sedangkan bagi diriku
hal itu tidak ada karena aku telah berhenti maujud dan telah lepas diri ! Aku
maujud dalam Tuhan dan diriku sepenuhnya milik-Nya. Aku hidup dalam naungan
firman-Nya. Akad nikah mesti diminta dari-Nya dan bukan dariku.
Memasuki usia kurang lebih dari 90 tahun, bukan semata-mata usia
yang panjang tapi merupakan waktu yang penuh berkah hidup yang menyebar
disekelilingnya atau kehidupan yang menyebarkan semerbak ke daerah sekitarnya.
Rabi’ah adalah wanita sufi dari Bashrah yang terkenal dengan ibadah dan
kedekatannya dengan Allah SWT. Memasukkan konsep kecintaan terhadap tuhan محبة الآهية dalam
dunia tasawwuf sebagai ganti dari rasa takut dan kekhawatiran. Menurut riwayat,
beliau wafat tahun 185 H/801 M dan orang-orang mengatakan dia dikuburkan dekat
kota Yerussalem. Terdapat silang pendapat di kalangan ahli sejarah tentang
wafatnya Rabi’ah, baik itu mengenai tahun maupun tempat penguburannya.
Mayoritas meyakini tahun 185 H sebagai tahun wafatnya Rabi’ah sedang tempat
penguburannya mayoritas ahli sejarah mengatakan bahwa kota kelahirannya sebagai
tempat menguburkannya.
Sebagian Syair-syair Cinta
Rabi’ah al-Adawiyah
- Aku
mencintai-Mu dengan dua cinta
Cinta
karena diriku dan cinta karena diri-Mu
Cinta
karena diriku, adalah keadaan senantiasa mengingat-Mu
Cinta
karena diri-Mu, adalah keadaan-Mu mengungkapkan tabir
Hingga
Engkau ku lihat
Baik
untuk ini maupun untuk itu
Pujian
bukanlah bagiku
Bagi-Mu
pujian untuk semua itu
- Aku
mengabdi kepada Tuhan
bukan
karena takut neraka
Bukan
pula karena mengharap masuk surga
Tetapi
aku mengabdi,
Karena
cintaku pada-Nya
Ya
Allah, jika aku menyembah-Mu
karena
takut neraka, bakarlah aku di dalamnya
Dan
jika aku menyembah-Mu
karena
mengharap surga, campakkanlah aku darinya
Tetapi,
jika aku menyembah-Mu demi Engkau semata,
Janganlah
Engkau enggan memperlihatkan keindahan wajah-Mu
yang
abadi padaku
- Tuhanku
Tenggelamkan diriku ke
dalam lautan
Keikhlasan mencintai-Mu
Hingga tak ada sesuatu yang
menyibukkanku
Selain berdzikir kepada-Mu
B. Konsep Tasawuf Dan Kehidupan Zuhud Yang Ditempuh
Rabi’ah Al Adawiyah tergolong dalam kelompok sufi periode awal. Ia
memperkaya literatur Islam dengan kisah-kisah pengalaman mistiknya dalam
sajak-sajak berkualitas tinggi. Rabi’ah dipandang sebagai pelopor tasawuf
mahabbah, yaitu penyerahan diri total kepada “kekasih” (Allah) dan ia pun
dikenang sebagai ibu para sufi besar (The Mother of The Grand Master). Hakekat
tasawufnya adalah habbul-ilāh (mencintai Allah SWT). Ibadah yang ia lakukan
bukan terdorong oleh rasa takut akan siksa neraka atau rasa penuh harap akan
pahala atau surga, melainkan semata-mata terdorong oleh rasa rindu pada Tuhan
untuk menyelami keindahan–Nya yang azali. Mahabbah Rabi’ah merupakan versi baru
dalam masalah ubudiyah kedekatan pada Tuhan.
Rabi’ah adalah seorang zahidah sejati. Memeluk erat kemiskinan demi
cintanya pada Allah. Lebih memilih hidup dalam kesederhanaan. Defenisi cinta
menurut Rabiah adalah cinta seorang hamba kepada Allah Tuhannya. Ia mengajarkan
bahwa yang pertama, cinta itu harus menutup yang lain, selain Sang Kekasih atau
Yang Dicinta, yaitu bahwa seorang sufi harus memalingkan punggungnya dari
masalah dunia serta segala daya tariknya. Sedangkan yang kedua, ia mengajarkan
bahwa cinta tersebut yang langsung ditujukan kepada Allah dimana mengesampingkan
yang lainnya, harus tidak ada pamrih sama sekali. Ia harus tidak mengharapkan
balasan apa-apa. Dengan Cinta yang demikian itu, setelah melewati tahap-tahap
sebelumnya, seorang sufi mampu meraih ma’rifat sufistik dari “hati yang telah
dipenuhi oleh rahmat-Nya”. Pengetahuan itu datang langsung sebagai pemberian
dari Allah dan dari ma’rifat inilah akan mendahului perenungan terhadap Esensi
Allah tanpa hijab. Rabiah merupakan orang pertama yang membawa ajaran cinta
sebagai sumber keberagamaan dalam sejarah tradisi sufi Islam.
Cinta Rabi’ah merupakan cinta yang tidak mengharap balasan. Justru,
yang dia tempuh adalah perjalan mencapai ketulusan. Sesuatu yang diangap
sebagai ladang subur bagi pemuas rasa cintanya yang luas, dan sering tak
terkendali tersebut. Lewat sebuah doa yang mirip syair, ia berujar: Wahai
Tuhanku, jika aku menyembah-Mu karena takut neraka, bakarlah aku di neraka.
Jika aku menyembah-Mu karena surga, jangan masukkan ke dalamnya. Tapi, jika aku
menyembah-Mu demi Engkau semata, jangan sembunyikan dariku keindahan abadi-Mu. Kecintaan
Rabi’ah kepada Allah mengalahkan hidup dan kecintaanya kepada dunia dan isinya,
hari-harinya habis untuk berkomunikasi dengan Allah betapa dia merasa dirinya
adalah milik Allah hingga ada beberapa pemuda ingin melamarnya ditolaknya
dengan halus.
Di antara mereka yang mencoba membujuknya untuk menikah adalah Abdul
Wajid bin Zaid, yang termasyur dalam kezuhudan dan kesucian hidupnya, seorang
ahli ilmu agama, seorang khatib, dan penganjur hidup menyepi bagi siapa saja
yang mencari jalan kepada Tuhan. Rabi’ah menolak lamarannya dan berkata : “Hai
orang yang sangat bernafsu, carilah wanita lain yang juga sangat bernafsu
sebagaimana dirimu. Apakah kau melihat ada tanda birahi dalam diriku?” Muhammad
bin Sulaiman al-Hasyimi, Amir Abbasiyah untuk Basrah pada saat itu, juga pernah
melamar Rabi’ah. Setelah mendiskusikannya dengan para pejabat di Basrah, dia
menawarkan mas kawin seratus ribu dinar dan menulis surat kepada Rabi’ah bahwa
dia memiliki gaji sepuluh ribu dinar tiap bulan dan semua itu akan dilimpahkan
kepada Rabi’ah. Tetapi Rabi’ah membalas surat itu dengan: “Hal itu tidaklah
menyenangkanku, kamu akan menjadi budakku dan semua yang kau miliki akan
menjadi milikku, atau kamu akan memalingkan aku dari Tuhan dalam sebuah pertemuan
abadi.”
Kisah lain menceritakan Hasan Basri yang dalam sebuah majelis sufi,
mendesak Rabi’ah agar memilih seorang di antara para sufi sebagai suami.
Rabi’ah memberikan jawaban : “Ya, baiklah. Siapa yang pandai di antara kalian,
yang memungkinkan aku akan menikah dengannya?” Para sufi sepakat menjawab :
“Hasan Basri.” Lalu Rabi’ah mengajukan empat pertanyaan : ”pertama, apakah
hakim dunia akan bertanya saat aku mati? Adakah aku saat meninggal dunia dalam
keadaan muslim ataukah kafir? Kedua, kapan aku masuk dalam kubur, dan jika
Munkar-Nakir menanyaiku, mampukah aku menjawab mereka? Ketiga, kapan manusia
dikumpulkan pada hari kebangkitan dan buku-buku dibagikan? Berapa yang menerima
buku dengan tangan kanan dan berapa dengan tangan kiri? Keempat, kapan umat
manusia dikumpulkan pada hari pengadilan, berapa yang masuk surga dan berapa
yang ke neraka, di antara kedua kelompok itu, kelompok manakah aku?” Hasan
Basri tidak bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut karena hanya Allah
yang mengetahuinya. Kemudian Rai’ah berkata : “Karena aku mempunyai empat
pertanyaan yang merupakan keprihatinan pribadiku, bagaiman aku akan menemukan
seorang suami yang tidak dapat menjadi tempat bersandar?”
Beliau selalu berbicara dengan Allah seolah-olah dekat sekali dengan
Allah dengan bahasa-bahasa yang indah dan do’a-do’a yang sangat menusuk hati
dan kata pujian seperti layaknya kerinduan seseorang kepada kekasih hatinya.
Sebagaimana do’a Rabi’ah kepada Allah dengan kecintaan yang sangat mendalam: Wahai
Tuhanku!, tenggelamkanlah aku dalam mencintai-Mu, sehingga tidak membimbangkan
aku dari pada-Mu. Ya Tuhan, bintang di Langit telah gemerlapan, mata telah
bertiduran, pintu-pintu istana telah dikunci dan tiap pencinta telah menyendiri
dengan yang dicintainya, dan inilah aku berada di hadirat-Mu. Tuhanku, malam
telah berlalu dan siang segera datang, aku gelisah apakah amalanku Engkau
terima hingga aku merasa bahagia, apakah engkau tolak sehingga aku merasa
sedih. Demi Kemahakuasaan-Mu, inilah yang aku lakukan sehingga engkau beri
hayat (hidup). Sekiranya engkau usir aku dari hadapan-Mu aku tidak akan pergi,
karena cinta pada-Mu telah memenuhi hatiku.
Pada suatu ketika, Rabi’ah al-Adawiyah pernah ditanya oleh al- Tsauri,
apakah hakekat iman engkau?. Rabiah al- Adawiyah menjawab, aku menyembah-Nya
bukan karena takut siksaan neraka-Nya, dan bukan pula karena ingin masuk
surga-Nya, karena dengan demikian jadilah aku bagaikan menerima upah yang
jahat, tetapi aku menyembah-Nya semata- mata cinta dan rindu kepada-Nya. Lebih
lanjut, hal ini tergambar dalam syair Rabi’ah al-Adawiyah yang berbunyi: “Tuhanku,
jika kupuji engkau karena takut neraka-Mu, bakarlah aku di dalamnya. Dan jika
ku puji engkau karena mengharap surga-Mu jauhkanlah aku dari padanya. Tetapi
bila ku puji Engkau karena semata- mata karena Engkau, maka jangan lah
sembunyikan kecantikan-Mu yang kekal itu dari ku”.
Ada orang bertanya kepada Rabi’ah, apa pendapatmu tentang surga ?.
dia menjawab: “yang penting tangga dulu baru rumah (surga)”.jawaban yang
singkat dari Rabi’ah mengandung makna bahwa yang terpenting adalah beramal
terlebih dahulu baru mengharap balasan. Disana juga tersirat bahwa beramal
adalah urusan manusia sedangkan balasan serahkan saja kepada kehendak Allah SWT
terhadap amalan manusia tersebut.
Dengan demikian jelaslah bahwa konsep al-hubb berdasarkan pengalaman
Rabi’ah al-Adawiyah dalam ritual tasawufnya adalah dengan menjadikan Allah
sebagai segala- galanya, tidak ada yang melebihi dari-Nya sesuatu pun makhluk
yang telah Ia ciptakan. Semua perhatian dan pikiran selalu tercurah kepada-Nya
sebagai bukti cinta- kasih hanya semata-mata untuk-Nya. Bahkan pengabdian hidup
yang diwujudkan dalam bentuk ibadah bukanlah untuk mengharapkan balasan apa-apa
dari-Nya, baik berupa surga maupun takut karena siksa neraka. Namun pengabdian
itu semata-mata karena Allah kekasih yang paling dicintainya. Semuanya
bertujuan untuk mendekatkan diri kepada-Nya, bahkan hingga mencapai persatuan
dengan-Nya.
Dalam fase selanjutnya, hidup Rabia’ah hanya diisi dengan dzikir,
tilawah, dan wirid. Duduknya hanya untuk menerima kedatangan muridnya yang
terdiri dari kaum sufi yang memohon restu dan fatwanya. Rabi’ah berusaha
mengajarkan generasi Muslim sesudahnya sehingga mereka mampu mengangkat derajat
mereka dari nafsu rendah. Sebab kondisi masyarakat Basrah pada waktu itu
terlena dalam kehidupan duniawi, berpaling dari Allah Swt dan menjauhi
orang-orang yang mencintai Allah serta segala sesuatu yang dapat mendekatkan
diri pada Allah Swt. Mengajarkan pada manusia arti cinta ilahi dengan mendidik
manusia dengan akhlaq yang mulia sehingga mendapatkan kedudukan tinggi. Hidup
Rabi’ah penuh untuk beribadah kepada Tuhan hingga akhir hayatnya.
Rabia’ah al-Adawiyah, telah memilih jalan hidup dengan cara zuhud
dan beribadah kepada Allah. Selama hidup ia tidak pernah menikah, walaupun ia
seorang wanita yang cantik dan menarik. Juga seorang yang cerdas dan luas
ilmunya. Rabi’ah sadar kalau perkawinan adalah perintah agama. Pada suatu
ketika seorang sahabat bertanya kepada Rabi’ah, mengapa Anda tidak mau menikah?
Rabi’ah menjawab; ada tiga keprihatinanku. Bila ada orang yang bisa
menghilangkan keprihatinanku tersebut, maka aku akan menikah dengannya.
Kemudian ia mengemukakan ketiga masalah tersebut; pertama, apa bila aku
meninggal dunia, maka aku akan menghadap Tuhanku, apakah dalam keadaan beriman
atau suci ?, kedua, apakah aku akan menerima kitab amalanku dengan tangan kanan
ku ?. ketiga, bila datang hari kiamat, dan orang- orang dari kelompok kanan
telah masuk surga dan kelompok kiri masuk neraka. Maka dalam kelompok manakah
aku ?. orang itu menjawab: “aku tidak tahu apa- apa tentang pertanyaanmu itu,
masalah itu hanya diketahui oleh Allah SWT. Rabi’ah berkata: jika demikian
halnya maka aku akan tetap dalam keadaan cemas dan prihatin. Bagaimana aku akan
mampu berumah tangga. Alasan Rabi,ah tersebut menggambarkan bahwa memang tidak
ada niat baginya untuk membagi cinta kepada Allah dengan makhluk ciptaan-Nya.
C. Ekspresi Beragama Dalam Kehidupan
Sufi Rabi’ah al-Adawiyah
Ekspresi beragama ini dibagi menjadi:
1.
Ekspresi Verbal yang dilakukan Rabi’ah al-Adawiyah
Sebagaimana disebut di atas, ekspresi verbal yang dilakukan
Rabi’ah antara lain berupa perkataan yang berwujud doa-doa, syair-syair,
nasehat, maupun jawaban dari pertanyaan.
Mengapa Rabi’ah menciptakan begitu banyak doa yang berupa
syair-syair? Hal ini boleh jadi karena perasaan cinta dan rasa rindu pada
“Kekasihnya”. Secara alamiah orang yang perasaannya dipenuhi oleh perasaan
cinta dan rindu maka akan menciptakan puisi-puisi sebagai ungkapan perasaannya
tersebut pada kekasihnya. Begitu juga yang terjadi pada Rabi’ah.
2.
Ekspresi Motoris yang dilakukan Rabi’ah al-Adawiyah
Ekspresi keberagamaan Rabi’ah dalam bentuk motoris
teraktualisasi dalam bentuk-bentuk ibadah antara lain seperti shalat, puasa,
haji, serta aktivitas-aktivitas lainnya.
Rabi’ah selalu melakukan shalat malam hingga fajar
menjelang, dan ketika ia sakit, ia ridak bisa melakukan shalat malam dan
akhirnya menggantinya dengan membaca Al-Quran di siang hari. Sementara tetesan
air mata selalu mengiringi doa-doa yang dilantunkannya. Ia menangis bukan
karena kemiskinannya atau karena ia tidak dihormati, melainkan ia menangis
karena rindu akan “Kekasihnya” Allah SWT.
Ekspresi lain yang dilakukannya
yaitu, menggali kuburnya sendiri di rumah. Dan diceritakan, ia biasa berdiri di
samping lubang kubur tersebut, pagi dan sore hari sambil berkata “besok engkau
pasti berada di sini” kemudian ia banyak melakukan ibadah. Selama 40 tahun ia
memelihara kebiasannya ini hingga wafatnya.
Perilaku demikian menunjukkan bahwa
Rabi’ah ingin segera bertemu dengan ‘kekasihnya’, dan itu akan dijumpainya pada
saat rohnya terlepas dari jasadnya. Di samping itu, perilaku demikian juga
menyadarkan dirinya bahwa kehidupan di dunia harus diisi dengan aktivitas
sebagai bekal kehidupan di akhirat kelak.
BAB III
PENUTUP
Rabi’ah Al Adawiyah tergolong dalam kelompok sufi periode awal. Ia
memperkaya literatur Islam dengan kisah-kisah pengalaman mistiknya dalam
sajak-sajak berkualitas tinggi. Rabi’ah dipandang sebagai pelopor tasawuf
mahabbah, yaitu penyerahan diri total kepada “kekasih” (Allah) dan ia pun
dikenang sebagai ibu para sufi besar (The Mother of The Grand Master). Hakekat
tasawufnya adalah habbul-ilāh (mencintai Allah SWT). Ibadah yang ia lakukan
bukan terdorong oleh rasa takut akan siksa neraka atau rasa penuh harap akan
pahala atau surga, melainkan semata-mata terdorong oleh rasa rindu pada Tuhan
untuk menyelami keindahan–Nya yang azali. Mahabbah Rabi’ah merupakan versi baru
dalam masalah ubudiyah kedekatan pada Tuhan.
Cinta Rabi’ah merupakan cinta yang tidak mengharap balasan. Justru,
yang dia tempuh adalah perjalan mencapai ketulusan. Sesuatu yang diangap
sebagai ladang subur bagi pemuas rasa cintanya yang luas, dan sering tak terkendali
tersebut. Lewat sebuah doa yang mirip syair, ia berujar: Wahai Tuhanku, jika
aku menyembah-Mu karena takut neraka, bakarlah aku di neraka. Jika aku
menyembah-Mu karena surga, jangan masukkan ke dalamnya. Tapi, jika aku
menyembah-Mu demi Engkau semata, jangan sembunyikan dariku keindahan abadi-Mu. Kecintaan
Rabi’ah kepada Allah mengalahkan hidup dan kecintaanya kepada dunia dan isinya,
hari-harinya habis untuk berkomunikasi dengan Allah betapa dia merasa dirinya
adalah milik Allah hingga ada beberapa pemuda ingin melamarnya ditolaknya
dengan halus.
-
Ekspresi Verbal yang dilakukan Rabi’ah al-Adawiyah
Sebagaimana
disebut di atas, ekspresi verbal yang dilakukan Rabi’ah antara lain berupa
perkataan yang berwujud doa-doa, syair-syair, nasehat, maupun jawaban dari
pertanyaan.
-
Ekspresi Motoris yang dilakukan Rabi’ah al-Adawiyah
Ekspresi keberagamaan
Rabi’ah dalam bentuk motoris teraktualisasi dalam bentuk-bentuk ibadah antara
lain seperti shalat, puasa, haji, serta aktivitas-aktivitas lainnya.
DAFTAR
PUSTAKA
El Sakkakini, Widad. Pergulatan
Hidup Perempuan Suci Rabi’ah Al-Adawiyah. Risalah Gusti,Surabaya: 1999
Asfari MS. Dan Otto Sukatno CR.,
1997. Mahabbah Cinta Rabi’ah al-Adawiyah. Cet. I. Jogjakarta: Bentang
Budaya.
https://salwintt.wordpress.com/artikel/kisah-islami/rabiah-adawiyyah/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar